Banyak hal yang terjadi di setiap sisi kehidupan manusia, dari hal yang sederhana sampai yang teramat kompleks. Semua karakter manusia mendapat kesempatan yang sama merasakan hiruk pikuk fenomena kejadian yang melintasi hidupnya.Contoh sederhana adalah diriku, aku berusaha menjebak ragaku untuk merasakan nafas dari jiwa, atas semua yang melewati hari-hariku, setiap menit bahkan detiknya.Aku bukan orang yang terlalu serius menjalani keseharianku, agenda penting maupun yang tak layak di tekuni, namun aku ingin mewarnai segala aktivitasku dengan sesuatu yang berbobot.
Sebagian besar manusia di dunia sibuk dengan aktivitas keDUNIAwiannya masing-masing, tanpa banyak waktu untuk mengingat kembali seperti apa hasil berupa kuantitas bahkan kualitas yang telah ia buat pagi hingga malam hari tadi, kecuali memang yang pekerjaannya memproduksi dagangan-dagangan berharga yang bernilai komersil.Memikirkan profit harga, minimal balik modal usaha.Dari jumlah sekian banyak produktivitas manusia di bumi mungin kurang dari seperempat persen yang memiliki bobot apalagi bicara nilai kualitasnya. Setidaknya itu yang kurasakan di dunia Indonesia kebanyakan.
Berapa banyak hal menfaat yang kita tularkan pada dunia yang kita jalani? Berikut ini sedikit renunganku
Di suatu siang yang teramat panas, aku berjalan menyusuri jalan panjang, disuatu perumahan di dekat salah satu rutan di Jakarta Timur. Langkah kakiku terdengar hanya oleh telingaku sendiri, maklum Jakarta tempat yang padat dan setiap ruas terjejer kendaraan bermotor, suaranya berdesing kesana kemari. Aku teringat hari ini akan jadi hari yang teramat panjang, sabtu hari ini berlanjut ahad besok, 12-13 maret 2011 ini hari cukup bersejarah bagiku, aku akan rapat kerja di organisasi mahasiswa yang aku ikuti. Kulirik handphone hitam dari tasku, dan kuambil utuk mengirim pesan, permohonan izin untuk ibu dan ayahku karena 2 hari ini aku tidak akan pulang. Bismillah...
Menunggu metromini 45 jurusan Pulogadung termasuk memerlukan waktu yang tidak sedikit, entah apa penyebabnya. Padahal jalur yang dilalui hanya lurus dari Pondok Gede, jika memang bus tersebut on the track, seharusnya tidak harus membuat calon penumpangnya sedikit wasting time, tapi nikmati sajalah, bismillah...
No body said it was easy,,lirik lagu Coldplay.
Akhirnya kendaraan umum berukuran cukup jumbo datang, dengan langkah pasti ku memasuki pintu metromini tersebut. Tapi, kali ini aku kurang beruntung, tempat duduk penuh, walau sebenarnya masih ada space, namun sulit untuk ku jangkau. Di bagian depan kendaraan, ku mantapkan kakiku untuk berdiri, tidak lama setelah mengambil ancang-ancang untuk berpegangan, tiba-tiba ada seorang ibu paruh baya memanggiku dari bagian belakang metromini, tepat di tempat duduk bagian belakang. “Ke sini mba, duduk disini” sapa Ibu itu dengan senyuman khas orang Jawa Timur. Karena logat dan raut wajahnya terlihat memang Ibu tersebut berasal dari bagian timur pulau terpadat di Indonesia itu. Aku sumringah dibuatnya, walaupun mungkin raut senyumku tak terlihat dikarenakan selembar kain menutupi mulutku, aku memakai masker sejak dari di luar metromini.
Subhanallah, Ibu itu perhatian sekali, walau tak dapat melihat wajahku, tapi dengan senang hati mempersilahkan aku untuk duduk disampingnya.” Masih muat kok, Ibu turun dekat sini” Ia memulai berbicara denganku. Dengan sekejap aku duduk, lalu ku lepas maskerku untuk merespon pembicaraannya. Serentetan pelajaran ku dapatkan dari seorang Ibu paruh baya perkasa yang berdampingan denganku di tempat duduk metromini. “Inilah anugerah Allah”, batinku. Ibu penjual minuman kesehatan yang di bawa dengan menggunakan tas besar untuk dijajakan itu bercerita dengan perasaan damai, walau di sudut matanya terlihat sedikit bulir air mata.
Beliau bernama Ibu Atun, beberapa kali Ia sebutkan asal kelahirannya, Jombang. Kata itu berkali-kali Ia sebutkan dengan kebanggaan. Dalam waktu singkat, karena hanya 20 menit sebelum Ia turun sampai tujuan tempat tinggalnya di Jakarta, daerah Jatinegara Kaum, beliau yang hidup seorang diri, seperti membuka mata dan menampar mukaku, serta mengerdilkan diriku, karena beliau bercerita tentang kehidupan yang penuh perjuangan. Dia pahlawan sesungguhnya. Keras dan kompetitifnya kehidupan di Jakarta, tak menjadikan Ia seorang pengecut. Ia hidup, dengan kehidupan sesungguhnya. Bayangkan usianya sekitar 60 tahun, setara dengan ibuku; tanpa seorang suami yang telah meninggal, begitupula tanpa seorang anak kandung tempatnya bercerita apalagi bergantung. Ia berani mengarungi perjalanan hidupnya di Jakarta, setelah memutuskan bermigrasi ke Jakarta bersama teman-temannya.
Ingatanku melekat, “hidup, tanpa saudara kandung, di Jakarta, bukan kisah yang sederhana.”Sedangkan aku?, siapa aku, manusia kerdil, yang belum mampu berhadapan dengan takdir seberat itu. Barokalloh Bu, batinku.Ia bersemangat mengatakan pengalaman selama bekerja, yaitu berjualan,” Ibu berkali-kali di zolimi pihak perusahaan tempat Ibu bekerja, ndak dibayar sesuai hak pegawai selama satu tahun. Ibu dibohongi...namun Ibu percaya akan ada balasan yang adil dari yang Maha Kuasa.”
whiuhh..aku menghela nafas, suaranya mungkin begitu menyita perhatian penumpang lain di sekitar kami, tapi menurutku, bukan masalah. Ini adalah suara hati rakyat kecil. Berlanjut hingga hampir sampai tujuannya Ibu itu menyebutkan alamat lengkap tempat tinggalnya, mungkin Ia berharap ada seseorang, termasuk aku yang bersedia mampir, menemani kesendiriannya.
Di akhir cerita menawannya, Ia berpesan”Ibu doakan Ibu orang tuamu bisa naik haji” Doa yang mengalir begitu tulus, “Amin...”, ditambah lagi kalimat ajaib dari bibir keriputnya,” terima kasih, nak”.Subhanalloh, Allohu Akbar. Kesimpulan yang ku buat adalah hikmah yang begitu istimewa, ia adalah sosok sederhana, berjiwa istimewa.
Kontras..
Hatiku berdegup memikirkan kisah tadi,
seorang yang mengais rejeki dengan usaha begitu menawan. Padahal di lain waktu, dilain tempat ku menyaksikan betapa Jakarta dihuni beribu-ribu manusia ambisius mendapatkan harta dan tahta. Berbagai cara, sebut saja dari yang biasa sampai yang 'luar bias' licik ia pertaruhkan, tak terdengar lagi suara nurani, harga diri di tenggelamkan.
Saat itu aku berada di daerah jantung Jakarta dengan bertempatkan kendaraan khusus Jakarta, Trans Jakarta. Berbagai tipe manusia terlihat, mulai yang aktivis, pegawai, sampai mungkin ada artis berlalu lalang memasuki bus yang ku tumpangi. Aku teringat curhatan temanku saat hadir di pengajian beberapa jam lalu, Neng, begitu biasa Ia disapa, merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya, yaitu sebuah kepuasan batin. Ia bekerja di perusahaan elit di daerah Medan Merdeka, sebuah tugas magang dari Fakultas Ekonomi tempat Ia berkuliah. Ia menceritakan hari-harinya sebagai auditing, terkesan monoton dan amat dingin, karena yang dikerjakan adalah, “all bout money”, tanpa berpikir sisi kehidupan lain.
Berbagi, itulah point yang ingin aku sampaikan. Begitu indah hidup, lapang hati, puas diri jika kebahagiaan yang ada di dalam diri kita bisa dirasakan orang lain.
Aku belajar dari seorang Ibu paruh baya, bahwa kesuksesan tidak hanya soal kesempatan, walau Ia bekerja di tempat yang elit, berlimpah uang, bertahta, dan terkenal.Secara Hukum Peluang manusia, memang Bu Aun bukan orang yang mendekati sukses, tapi..
Ini soal ketenangan dan kedamaian hidup, dan itu semua terangkum dalam dua kata, syukur dan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar